Kamis, 19 September 2013

Madrasah Ibtidaiyah dalam sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam perkembangannya madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia[1].
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri[2]. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional[3]. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta[4].
Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Proses pengembangan Madrasah Ibtidaiyah (MI) selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan dalam PP RI NOMOR 19 THN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
I. Menyoal Revitalisasi MI di Era Otonomisasi Daerah dan Tantangan Globalisasi
A.    Madrasah Ibtidaiyah; Peran dan Karakteristiknya
1)      Peran Madrasah dalam sistem pendidikan nasional dan variasi antar Daerah.
Madrasah Ibtidaiyah secara nasional memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sistem pendidikan nasional sebagai alternatif dari sekolah umum, cepat merespon perkembang tuntutan masyarakat akan pendidikan, menampung siswa perempuan, kurang mampu, dan terisolasi, sebagian besar diselenggarakan oleh swasta ( sekitar 11% ) dan memberikan landasan yang kuat dalam menanamkan nilai dan norma keagamaan disamping pengetahuan umum seperti di sekolah umum sejak dini.
Di beberapa komunitas, Madrasah merupakan pilihan, tetapi di daerah terpencil dimana sekolah umum yang diselenggarakan pemerintah belum ada, Madrasah swasta menjadi satu-satunya jenis pendidikan umum yang tersedia. Secara nasional tingkat pertumbuhan siswa pada Madrasah Ibtidaiyah adalah sebesar 2,5 % per tahun.
Madrasah Ibtidaiyah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendidikan umum di Indonesia, oleh karena itu perlu dipertimbangkan dalam upaya perencanaan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia bersama-sama dengan sekolah umum. Seperti juga sekolah umum, kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah dilakukan dengan cara meningkatkan pengajarannya, sarana dan prasarana pendidikan dan penggunaannya, serta buku pelajaran serta pemanfaatan peralatan pendidikan lainnya.
2)      Madrasah  Ibtidaiyah di Indonesia unik.
Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia sangat unik dan tidak sama dengan Madrasah di manapun, karena: (a) diselengarakan seperti sekolah biasa, (b) mengajarkan kurikulum nasional, (c) menyiapkan siswa untuk mengikuti ujian nasional, (d) bersifat koedukasi, (e) memberikan ketrampilan hidup untuk menjadi warga negara yang produktif dalam masyarakat modern dan majemuk, dan (f) berhasil memberikan landasan nilai dan norma tradisional agama yang kuat berbasis kepada ajaran agama Islam, disamping pendidikan umum yang modern.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan Madrasah di Indonesia. Keistimewaan Madrasah dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Salah satu keunikan lain dari Madrasah Ibtidaiyah adalah masalah pengaturan dan pengelolaan. Sampai saat ini pengaturan dan pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah masih dilakukan secara sentralistik oleh Departemen Agama. Karena Madrasah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, maka pengaturannya di bawah Depdiknas dan daerah sesuai UU No. 22/1999 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sementara itu, pengelolaannya Madrasah negeri diserahkan ke kabupaten/kota.
B.     MI, Problematika, dan Tantangannya.
Madrasah Ibtidaiyah dalam perkembangan selanjutnya, dihadapkan pada -sebuah era baru yang menuntut adanya keterbukaan di segala bidang kehidupan, era yang dipenuhi dengan persaingan dan menonjolkan keunggulan teknologi informasi dengan tanpa melihat batasan-batasn regional-  era globalisasi. Era globalisasi ini akan mendorong munculnya tatanan baru masyarakat yang juga akan melahirkan persoalan dan tantangan baru bagi madrasah.
Madrasah Ibtidaiyah, seperti halnya lembaga pendidikan yang lain, memiliki berbagai macam persoalan yang harus diperhatikan dengan seksama dan segera dicarikan solusi bagi eksistensi dan juga untuk peningkatan mutu Madrasah Ibtidaiyah itu sendiri. Problematika  yang selama ini masih banyak di alami oleh Madrasah-Madrasah di Indonesia antara lain adalah:
1.      Evaluasi Pendidikan yang masih parsial.
Minimal ada tiga hal yang perlu memperoleh perhatian bagi peningkatan mutu hasil belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Pertama, sistem yang dikembangkan sekarang belum komprehensif karena lebih berorientasi kepada pengajaran sekolah umum sehingga belum menyentuh hasil belajar yang menyangkut moral dan nilai keagamaan yang menjadi keunggulan Madrasah Ibtidaiyah.
Kedua, dalam instrumen standarisasi mutu yang diwujudkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) dan pengendalian yang diwujudkan dalam sistem akreditasi nasional, lebih menitikberatkan kepada pengukuran inputs dalama arti statis dan kurang melihat bagaimana intensitas input itu dipergunakan untuk mendukung proses belajar mengajar, sementara yang terakhir ini merupakan salah satu keunggulan Madrasah dalam keterbatasan input yang dimiliki. Ketiga, penilaian terhadap hasil belajar siswa secara nasional yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir Nasional (UAN) masih bersifat parsial, baik dalam artian jumlah mata pelajaran maupun cara hasil belajar itu diukur.
2.      Hasil belajar yang rendah.
Berdasarkan data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menujukkan bahwa secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Poporsi siswa Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10% lebih besar dari proporsi siswa sekolah umum, walaupun rata-rata nasional nilai seluruh mata pelajaran masih di bawah 6 di kedua jenis pendidikan tersebut.
3.      Penilaian kualitas berorientasi inputs.
Sistem akredirtasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Madrasah Ibtidaiyah, namun keberadaannya saat ini masih berorientasi kepada penilaian terhadap inputs saja. Proses ini yang demikian telah mendorong Madrasah lebih mengutamakan peningkatan inputs dengan kurang memperhatikan penggunaan inputs sebagai instrumen untuk meningkatkan hasil belajar.
4.      Sumber daya manusia.
Peran sumber daya manusia yang utama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan Madrasah adalah guru dan kepala sekolah, oleh karena itu UU No. 20/2003 sangat memperhatikan mereka tetapi juga mengatur standar yang ketat. Karena sebagaian besar Madrasah adalah swasta dan kebanyakan berstatus terdaftar dana belum terdaftar maka proporsi guru PNS, yang biasanya sudah memenuhi standar minimal, sangat sedikit. Ini mengakibatkan sebagian besar adalah guru yayasan dan guru BP3 yang bekerja penuh waktu dan sebagian besar lainnya paruh waktu dengan jumlah rata-rata jam per minggunya tidak diketahui dari data yang tersedia. Mereka menjadi beban orang tua atau yayasan yang kemampuan membiayainya rendah sehingga renumerasi yang diperolehnya sangat rendah. Untungnya rata-rata mereka bekerja dengan dedikasi yang tinggi.
Menurut data statistik banyak guru yang masih dibawah standar kualifikasi walaupun beberapa diantaranya telah berpengalaman lama dan mengikuti berbagai penataran kemampuan, tetapi hasil penataran dan kemampuan ini tidak diukur seberapa jauh meningkatkan kompetensi mengajarnya.  Sebagian guru Madrasah juga mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang studinya. Upaya penataran, studi lanjut, dan studi alih bidang sudah banyak dilakukan tetapi dalam statistik tidak jelas berapa diantaranya yang telah berhasil memenuhi kompetensi mengajar yang sesuai dengan bidangnya.
5.      Kepala Madrasah.
Dalam sistem manajemen berbasis sekolah diperlukan kepala sekolah yang inovatif, kreatif, dan berkemampuan melakukan pengelolaan sendiri baik dalam aspek pengembangan kurikulum, personalia, pembiayaan dan akuntabilitas. Semua Kepala Madrasah di Madrasah negeri adalah PNS sementara di Madrasah swasta hanya 34%. Proporsi yang memiliki kualifikasi minimal berkisar 19 sampai 31% dan kompetensi manajemennya juga masih rendah.
6.      Sarana dan prasaran pendidikan.
Empat komponen menjadai sorotan utama dalam studi ini, yaitu: ruang kelas, buku pelajaran, laboratorium, dan perpustakaan, karena mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap hasil belajar siswa.
a)      Ruang kelas. Pada umumnya kebutuhan ruang kelas terpenuhi kecuali di MI terdapat kekurangan sekitar 400 ruang kelas di negeri dan 8000 di swasta. Sebagian diatasi dengan cara bergilir pagi siang, sebagian dengan meminjam, dan sebagian menerapkan kelas campuran. Secara keseluruhan ada 56% yang masih layak pakai, sisanya memerlukan perbaikan dan proporsi terbesar adalah di MI swasta.
b)     Buku pelajaran. Buku pelajaran pokok yang dimiliki Madrasah berkisar antara 23 sampai 92% dari yang diperlukan di Madrasah negeri dan hanya 3 sampai 8% di Madrasah swasta dari yang diperlukan untuk memenuhi satu buku satu siswa. Sebabnya bisa karena sebagian sudah rusak, sebagian tidak dikembalikan siswa, pemerintah belum dapat memberikan lengkap, atau kelemahan distribusi. Sementara itu, selain dari pemerintah Madrasah juga membeli buku sendiri untuk pegangan guru dari penerbit lain untuk memperkaya materi yang diajarkan.
c)      Perpustakaan dan laboratorium. Sekitar 40% Madrasah negeri dan 30% Madrasah swasta memiliki perpustakaan, 50% diantaranya memerlukan perbaikan. Ada sekitar 19% MTs dan MA yang memiliki laboratorium dan hanya 36% yang memerlukan perbaikan. Jumlah laboratorium komputer lebih banyak dari pada laboratorium IPA dan bahasa, menggambarkan kepekaan Madrasah dalam mengadopsi teknologi baru dan merespon kebutuhan pasar akan ketrampilan ini[5].
7.      Setifikat tanah.
Hampir semua tanah tempat Madrasah Ibtidaiyah (swasta) didirikan dan dibangun sarananya semua diperoleh dari waqaf, sayangnya lebih dari 31.000 belum disertifikatkan sehingga rawan sengketa[6].
8.      Rendahnya Pendapatan.
Dari aspek pendapatan, secara nasional Madrasah negeri menerima bantuan dari pemerintah per-siswa 30% kurang dari sekolah umum, ini menggambarkan bahwa pemerintah belum memperlakukan sama antara Madrasah negeri dengan sekolah negeri. Perbedaan lebih lebar antara Madrasah negeri antar propinsi.
Pendapatan Madrasah swasta jauh lebih rendah dari pada Madrasah Negeri dan perbedaan antar daerah bahkan lebih besar. Semakin melebar untuk Madrasah swasta yang salah satu sebabnya karena proporsi guru PNS yang dipekerjakan di Madrasah swasta jauh lebih kecil dan bahkan banyak Madrasah swasta yang tidak menerima bantuan guru PNS sama sekali, sementara di propinsi lain memperoleh 60% guru PNS yang dipekerjakan.
Orang tua di Madrasah swasta rata-rata memberikan kontribusi yang lebih besar dari orang tua sekolah umum. Karena orang tua siswa Madrasah swasta berasal dari keluarga kurang mampu, maka kontribusinya menunjukkan upaya optimal dari kemampuannya untuk membayar.
Pada saat sekarang kontribusi Daerah kecil. Apabila keadaan seperti ini tidak diperbaiki terlebih dahulu, maka akan menjadi beban APBD Daerah sewaktu didesentralisasikan, terutama yang penerimaan DAU-nya kecil sementara jumlah siswa Madrasahnya besar. Sebagian Madrasah beruntung memperoleh dari swadaya dengan menyelenggarakan kegiatan yang menghasilkan. Sebagian Madrasah didukung oleh donatur tetap, dan hampir semua Madrasah juga meperoleh keuntungan dari guru honor yang bekerja dengan imbalan jauh di bawah upah dasar minimum.
9.      Pengeluaran yang besar.
Pengeluaran terbesar anggaran Madrasah masih didominasi untuk gaji dan honorarium yang mecapai antara 60 sampai 80%. Di Madrasah swasta yang pendapatannya kecil, proporsinya ditekan sampai 50% agar untuk mendukung proses belajar mengajar lebih besar. Namun demikian dalam rupiah masih sangat kecil, yaitu Rp. 5.000,- per siswa per tahun, jumlah yang terlalu kecil untuk meningkatkan kualitas.
Sementara, tantagan yang harus dihadapi oleh Madrasah di era globalisasi ini antara lain, pertama, perubahan orientasi pendidikan masyarakat akibat tuntutan era industrialisasi di tengah-tengah masyarakat. Kedua, munculnya tren baru pendidikan akibat dari dampak lanjutan perubahan orientasi pendidikan masyarakat di atas, yakni tren yang menjadikan pendidikan umum lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pendidikan agama. ketiga,  kenyataan bahwa, dewasa ini, kualitas layanan pendidikan yang diberikan oleh Madrasah dinilai masih rendah daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah umum, apalagi negeri[7].
C.    Desentralisasi Pendidikan dan Upaya Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah
Desentralisasi di bidang pendidikan adalah pemindahan wewenang dalam pengaturan pelayanan dan fungsi-fungsi pengaturan dari Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota, dan sebagian pengelolaan diberikan ke sekolah dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Prinsip-prinsip desentralisasi seperti dinyatakan dalam UU No.22/1999 adalah demokrasi, partisipasi masyarakat persamaan, pemerataan, dan kemandirian dalam hal-hal yang diserahkan, dengan memperhatikan keberagaman potensi Daerah dan menjalin hubungan yang hamonis antara tingkat pusat dan daerah, dengan meningkatkan peran perwakilan daerah dan menyediakan dukungan finansial.
Terdapat dua hal pokok yang terdapat pada UU No. 22 dan 25 tahun 1990 tentang desentralisasi dan Otonomi Daerah, yakni:
1.      Adanya perubahan piramida kewenangan Pemerintahan. Pasal 10, meletakkan otonomi luas dan utuh pada Kabupaten/Kota. Pasal 9, otonomi provinsi merupakan otonomi yang terbatas dan pasal 112 provinsi di amanatkan sebagai fasilitator dan perekat.
2.      Pembanguna paradigma baru, diantaranya
a)      Demokratisasi penyelenggaraan
b)      Pemberdayaan aparat dan masyarakat (peningkatan partisipasi dan tanggung jawab)
c)      Peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat (pengembangan kewajiban dan hak sipil)
Berangkat dari beberapa hal tersebut diatas, maka beberapa langkah strategis perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan kuatlitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, langkah-langkah tersebut antara lain:
1.      Perbaikan Komponenen Input Madrasah Ibtidaiyah
Menelisik akar persoalan diatas tidaklah mudah untuk merevitaliasi kondisi pendidikan madrasah. Namun, keseriusan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan sangatlah diperlukan, karena besarnya Anggaran pendidikan tanpa diimbangi dengan program pendidikan yang benar malah akan menimbulkan persoalan baru.
Melihat kondisi dan realitas yang ada setidaknya tiga komponen input yang harus segera dibenahi.Pertama, pembenahan sarana dan infrastruktur pendidikan. Hal ini amatlah wajar, ketika kita berbicara persoalan pendidikan dengan mengenyampingkan sarana dan infrstruktur adalah omong kosong. Bagaimana para siswa akan belajar jika lokalnya tidak ada, hancur, mau roboh dan tidak layak digunakan, ataupun bagaimana para siswa akan dapat memahami ilmu yang diberikan oleh guru dalam bidang biologi misalnya ataupun kimia yang membutuhkan praktek, sementara sekolah tidak memiliki laboratorium maupun sarana praktek yang lain, dan inilah kondisi yang terjadi di madrasah-madrasah hari ini.
Kedua, konsistensi dan keberlanjutan pembinaan guru. Sudah dikatakan diawal bahwa berbicara persoalan madrasah apalagi dengan sekian wacana peningkatan madrasah bermutu tidaklah mungkin mengenyampingkan sosok guru. Maka konsistensi pembinaan guru madrasah merupakan sebuah keharusan sebagai upaya menciptakan guru yang profesional. Profesionalitas seorang guru sangat vital untuk mensukseskan pendidikan yang bermutu. Dengan pembinaan guru yang konsisten ini diharapkan akan tercapai standarisasi pendidik yang dibutukan bagi guru-guru madrasah sehingga guru yang profesional dapat terwujud. Adapun Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sebagaimana yang dijelaskan dalam PP RI NO. 19 TAHUN 2005 Tentang Guru Dan Dosen, dalam pasal 28 disebutkan.
a.       Kompetensi Pedagogik. Kompetensi adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisaskikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.      Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan yang mantap, stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c.       Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya pembimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
d.      Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali, peserta didik, dan masyarakat sekitar[8].
Seorang guru juga harus menyadari bahwa, pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didik (etos).
Ketiga, pelaksanaan monitoring dan evaluasi dalam kerangka pengembangan madrasah sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabiltas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan, monitoring dan evaluasi juga dilakukan dalam kerangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Monitoring dan Evaluasi harus dilakukan secara konsisten untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik, dan perkembangan madrasah secara berkesinambungan.
2.      Penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah dengan Berorientasi Perbaikan Mutu dan Peningkatan Pelayanan Pendidikan.
Di tingkat satuan pendidikan pada saat ini, pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah swasta sama dengan Madrasah Ibtidaiyah negeri kecuali dalam akreditasi yang hanya dikenakan pada Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Sedangkan dalam pengelolaan, 91% Madrasah Ibtidaiyah adalah swasta sehingga lebih otonom dan diselenggarakan oleh berbagai tipe yayasan yang bervariasi. Variasinya tidak hanya dalam aliran Islam, tetapi juga dalam ukuran dan struktur yayasan.
Mulyasa, seperti dikutip Abdul Rahman Saleh,  menyatakan setidaknya terdapat tujuh komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yakni: (a) Kurikulum dan Program pengajaran (b) Tenaga Kependidikan (c) Kesiswaan (d) Pembiayaan (e) Sarana dan Prasarana Pendidikan (f) Pengelolaan Hubungan sekolah dengan masyarakat (g) Manajemen Pelayanan khusus Lembaga pendidikan[9].
Madrasah Ibtidiyah, sebagai institusi pendidikan, harus dikembangkan dan diarahkan pada mekanisme organisasi dan penyelenggaraan yang profesional. Formulasi mekanisme organisasi dan penyelenggaraan tersebut adalah: (a) penataan seluruh komponen pendidikan  menuju tercapainya tujuan institusional (b) orientasi pengelolaan diarahkan kepada terciptanya hubungan timbal balik antara madrasah Ibtidaiyah dan masyarakat. (c) fleksibilitas pengelolaan (d) melalui pendekatan yang profesional (e) bersifat terbuka dan demokratis (f) kerja sama  denagan unsur dan unit kerja lain (g) mengembangkan konsep keterpaduan (h) pengawasan dan kontrol pengelolaan yang independen (i) menyiapkan perangkat hukum (j) Pembentukan dan perbaikanimage.[10]
3.      Prinsip pendanaan yang adil.
Demi prinsip keadilan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas yang baru, studi ini mendukung rekomendasi Studi Pengembangan Sektor Pendidikan yang mengusulkan dilakukan perubahan sistem pendanaan pendidikan dengan berbasis rumusan kebutuhan per-siswa dengan memperhatikan ketimpangan tersebut di atas. Agar Madrasah dapat mengejar ketertinggalan dalam memperoleh dana pemerintah, tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan ciri khasnya, dan terdorong untuk selalu meningkatkan kualitas, maka disarankan agar kebijakan pendanaan pemerintah dilakukan dalam bentuk hibah, berorientasi kepada kinerja, diprioritasikan untuk memperbaiki disparitas, didukung dengan pembentukan Dana Amal Abadi Pendidikan (endowment fund).
Penyaluran dana pemerintah diwujudkan dalam bentuk hibah (block grant) dimana Madrasah diberi kewenangan untuk mengatur penganggarannya sendiri untuk semua komponen masukan instrumental pendidikan, baik untuk kegiatan rutin maupun kegiatan pengembangan, dan ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas pasal 49. Untuk berorientasi kinerja, setiap Madrasah perlu menyiapkan Rencana Program Peningkatan Kualitas beserta usulan anggarannya sebagai dasar untuk menetapkan dana bantuan pemerintah. Prioritas diberikan kepada Madrasah di Daerah yang selama ini kurang memperoleh dana pemerintah, di daerah terpencil, terisolasi, dan daerah miskin, agar Madrasah yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalannya.


2 komentar :