Madrasah Ibtidaiyah
dalam sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam perkembangannya
madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat
13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada
sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan
diri di MI. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah
(MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat
berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa.
Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah
pendidikan di Indonesia[1].
Di tahun 1966,
pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah
negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri[2]. Konsekuensi, manajemen madrasah secara
total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90
persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
Secara legal,
madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak
di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional[3]. Perkembangan madrasah kemudian
berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa
tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya
diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan
sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta[4].
Melihat kenyataan
tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki
kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis,
Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan
masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan
menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Proses pengembangan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga
harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah.
Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan
merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan
negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan
nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral
bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan
bermakna.
Secara khusus,
ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan dalam PP RI
NOMOR 19 THN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi Lulusan
di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan
dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian
akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
I. Menyoal
Revitalisasi MI di Era Otonomisasi Daerah dan Tantangan Globalisasi
A. Madrasah Ibtidaiyah;
Peran dan Karakteristiknya
1) Peran Madrasah dalam
sistem pendidikan nasional dan variasi antar Daerah.
Madrasah Ibtidaiyah
secara nasional memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sistem
pendidikan nasional sebagai alternatif dari sekolah umum, cepat merespon
perkembang tuntutan masyarakat akan pendidikan, menampung siswa perempuan,
kurang mampu, dan terisolasi, sebagian besar diselenggarakan oleh swasta (
sekitar 11% ) dan memberikan landasan yang kuat dalam menanamkan nilai dan
norma keagamaan disamping pengetahuan umum seperti di sekolah umum sejak dini.
Di beberapa
komunitas, Madrasah merupakan pilihan, tetapi di daerah terpencil dimana
sekolah umum yang diselenggarakan pemerintah belum ada, Madrasah swasta menjadi
satu-satunya jenis pendidikan umum yang tersedia. Secara nasional tingkat
pertumbuhan siswa pada Madrasah Ibtidaiyah adalah sebesar 2,5 % per tahun.
Madrasah Ibtidaiyah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendidikan umum di Indonesia,
oleh karena itu perlu dipertimbangkan dalam upaya perencanaan untuk
meningkatkan pendidikan di Indonesia bersama-sama dengan sekolah umum. Seperti
juga sekolah umum, kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah dilakukan dengan cara meningkatkan pengajarannya, sarana dan
prasarana pendidikan dan penggunaannya, serta buku pelajaran serta pemanfaatan
peralatan pendidikan lainnya.
2) Madrasah
Ibtidaiyah di Indonesia unik.
Madrasah Ibtidaiyah
di Indonesia sangat unik dan tidak sama dengan Madrasah di manapun, karena: (a)
diselengarakan seperti sekolah biasa, (b) mengajarkan kurikulum nasional, (c)
menyiapkan siswa untuk mengikuti ujian nasional, (d) bersifat koedukasi, (e)
memberikan ketrampilan hidup untuk menjadi warga negara yang produktif dalam
masyarakat modern dan majemuk, dan (f) berhasil memberikan landasan nilai dan
norma tradisional agama yang kuat berbasis kepada ajaran agama Islam, disamping
pendidikan umum yang modern.
Merujuk pada
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi
dan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebenarnya memiliki tempat yang
istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim.
Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan
usia perkembangan Madrasah di Indonesia. Keistimewaan Madrasah dalam sistem
pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal
dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: dalam Pasal 3 UU Sisdiknas
dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah
berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi
lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan
bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak
mulia.
Salah satu keunikan
lain dari Madrasah Ibtidaiyah adalah masalah pengaturan dan pengelolaan. Sampai
saat ini pengaturan dan pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah masih dilakukan secara
sentralistik oleh Departemen Agama. Karena Madrasah merupakan bagian dari
sistem pendidikan nasional, maka pengaturannya di bawah Depdiknas dan daerah
sesuai UU No. 22/1999 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, pengelolaannya Madrasah negeri diserahkan ke kabupaten/kota.
B. MI, Problematika, dan
Tantangannya.
Madrasah Ibtidaiyah
dalam perkembangan selanjutnya, dihadapkan pada -sebuah era baru yang menuntut
adanya keterbukaan di segala bidang kehidupan, era yang dipenuhi dengan
persaingan dan menonjolkan keunggulan teknologi informasi dengan tanpa melihat
batasan-batasn regional- era globalisasi. Era globalisasi ini akan
mendorong munculnya tatanan baru masyarakat yang juga akan melahirkan persoalan
dan tantangan baru bagi madrasah.
Madrasah Ibtidaiyah,
seperti halnya lembaga pendidikan yang lain, memiliki berbagai macam persoalan
yang harus diperhatikan dengan seksama dan segera dicarikan solusi bagi
eksistensi dan juga untuk peningkatan mutu Madrasah Ibtidaiyah itu sendiri.
Problematika yang selama ini masih banyak di alami oleh Madrasah-Madrasah
di Indonesia antara lain adalah:
1.
Evaluasi Pendidikan yang masih parsial.
Minimal ada tiga hal
yang perlu memperoleh perhatian bagi peningkatan mutu hasil belajar di Madrasah
Ibtidaiyah. Pertama, sistem yang
dikembangkan sekarang belum komprehensif karena lebih berorientasi kepada
pengajaran sekolah umum sehingga belum menyentuh hasil belajar yang menyangkut
moral dan nilai keagamaan yang menjadi keunggulan Madrasah Ibtidaiyah.
Kedua, dalam instrumen
standarisasi mutu yang diwujudkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) dan
pengendalian yang diwujudkan dalam sistem akreditasi nasional, lebih
menitikberatkan kepada pengukuran inputs dalama arti statis dan kurang melihat
bagaimana intensitas input itu dipergunakan untuk mendukung proses belajar
mengajar, sementara yang terakhir ini merupakan salah satu keunggulan Madrasah
dalam keterbatasan input yang dimiliki. Ketiga, penilaian terhadap
hasil belajar siswa secara nasional yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir
Nasional (UAN) masih bersifat parsial, baik dalam artian jumlah mata pelajaran
maupun cara hasil belajar itu diukur.
2.
Hasil belajar yang rendah.
Berdasarkan data
kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menujukkan bahwa secara nasional hasil
belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Poporsi siswa Madrasah
yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10% lebih besar dari proporsi siswa
sekolah umum, walaupun rata-rata nasional nilai seluruh mata pelajaran masih di
bawah 6 di kedua jenis pendidikan tersebut.
3.
Penilaian kualitas berorientasi inputs.
Sistem akredirtasi
merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Madrasah Ibtidaiyah, namun
keberadaannya saat ini masih berorientasi kepada penilaian terhadap inputs
saja. Proses ini yang demikian telah mendorong Madrasah lebih mengutamakan peningkatan inputs dengan kurang memperhatikan penggunaan inputs sebagai instrumen untuk
meningkatkan hasil belajar.
4.
Sumber daya manusia.
Peran sumber daya
manusia yang utama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan Madrasah adalah
guru dan kepala sekolah, oleh karena itu UU No. 20/2003
sangat memperhatikan mereka tetapi juga mengatur standar yang ketat. Karena
sebagaian besar Madrasah adalah swasta dan kebanyakan berstatus terdaftar dana
belum terdaftar maka proporsi guru PNS, yang biasanya sudah memenuhi standar
minimal, sangat sedikit. Ini mengakibatkan sebagian besar adalah guru yayasan
dan guru BP3 yang bekerja penuh waktu dan sebagian besar lainnya paruh waktu
dengan jumlah rata-rata jam per minggunya tidak diketahui dari data yang
tersedia. Mereka menjadi beban orang tua atau yayasan yang kemampuan
membiayainya rendah sehingga renumerasi yang diperolehnya sangat rendah.
Untungnya rata-rata mereka bekerja dengan dedikasi yang tinggi.
Menurut data
statistik banyak guru yang masih dibawah standar kualifikasi walaupun beberapa
diantaranya telah berpengalaman lama dan mengikuti berbagai penataran
kemampuan, tetapi hasil penataran dan kemampuan ini tidak diukur seberapa jauh
meningkatkan kompetensi mengajarnya. Sebagian guru Madrasah juga mengajar
tidak sesuai dengan latar belakang bidang studinya. Upaya penataran, studi
lanjut, dan studi alih bidang sudah banyak dilakukan tetapi dalam statistik
tidak jelas berapa diantaranya yang telah berhasil memenuhi kompetensi mengajar
yang sesuai dengan bidangnya.
5.
Kepala Madrasah.
Dalam sistem
manajemen berbasis sekolah diperlukan kepala sekolah yang inovatif, kreatif,
dan berkemampuan melakukan pengelolaan sendiri baik dalam aspek pengembangan
kurikulum, personalia, pembiayaan dan akuntabilitas. Semua Kepala Madrasah di
Madrasah negeri adalah PNS sementara di Madrasah swasta hanya 34%. Proporsi
yang memiliki kualifikasi minimal berkisar 19 sampai 31% dan kompetensi
manajemennya juga masih rendah.
6.
Sarana dan prasaran pendidikan.
Empat komponen
menjadai sorotan utama dalam studi ini, yaitu: ruang kelas, buku pelajaran,
laboratorium, dan perpustakaan, karena mempunyai kontribusi yang signifikan
terhadap hasil belajar siswa.
a) Ruang kelas. Pada umumnya
kebutuhan ruang kelas terpenuhi kecuali di MI terdapat kekurangan sekitar 400
ruang kelas di negeri dan 8000 di swasta. Sebagian diatasi dengan cara bergilir
pagi siang, sebagian dengan meminjam, dan sebagian menerapkan kelas campuran.
Secara keseluruhan ada 56% yang masih layak pakai, sisanya memerlukan perbaikan
dan proporsi terbesar adalah di MI swasta.
b) Buku pelajaran. Buku pelajaran
pokok yang dimiliki Madrasah berkisar antara 23 sampai 92% dari yang diperlukan
di Madrasah negeri dan hanya 3 sampai 8% di Madrasah swasta dari yang
diperlukan untuk memenuhi satu buku satu siswa. Sebabnya bisa karena sebagian
sudah rusak, sebagian tidak dikembalikan siswa, pemerintah belum dapat memberikan
lengkap, atau kelemahan distribusi. Sementara itu, selain dari pemerintah
Madrasah juga membeli buku sendiri untuk pegangan guru dari penerbit lain untuk
memperkaya materi yang diajarkan.
c) Perpustakaan dan
laboratorium.
Sekitar 40% Madrasah negeri dan 30% Madrasah swasta memiliki perpustakaan, 50%
diantaranya memerlukan perbaikan. Ada sekitar 19% MTs dan MA yang memiliki
laboratorium dan hanya 36% yang memerlukan perbaikan. Jumlah laboratorium
komputer lebih banyak dari pada laboratorium IPA dan bahasa, menggambarkan
kepekaan Madrasah dalam mengadopsi teknologi baru dan merespon kebutuhan pasar
akan ketrampilan ini[5].
7.
Setifikat tanah.
Hampir semua tanah
tempat Madrasah Ibtidaiyah (swasta) didirikan dan dibangun sarananya semua
diperoleh dari waqaf, sayangnya lebih dari 31.000 belum disertifikatkan
sehingga rawan sengketa[6].
8.
Rendahnya Pendapatan.
Dari aspek
pendapatan, secara nasional Madrasah negeri menerima bantuan dari pemerintah
per-siswa 30% kurang dari sekolah umum, ini menggambarkan bahwa pemerintah
belum memperlakukan sama antara Madrasah negeri dengan sekolah negeri.
Perbedaan lebih lebar antara Madrasah negeri antar propinsi.
Pendapatan Madrasah
swasta jauh lebih rendah dari pada Madrasah Negeri dan perbedaan antar daerah
bahkan lebih besar. Semakin melebar untuk Madrasah swasta yang salah satu
sebabnya karena proporsi guru PNS yang dipekerjakan di Madrasah swasta jauh
lebih kecil dan bahkan banyak Madrasah swasta yang tidak menerima bantuan guru
PNS sama sekali, sementara di propinsi lain memperoleh 60% guru PNS yang
dipekerjakan.
Orang tua di Madrasah
swasta rata-rata memberikan kontribusi yang lebih besar dari orang tua sekolah
umum. Karena orang tua siswa Madrasah swasta berasal dari keluarga kurang
mampu, maka kontribusinya menunjukkan upaya optimal dari kemampuannya untuk
membayar.
Pada saat sekarang
kontribusi Daerah kecil. Apabila keadaan seperti ini tidak diperbaiki terlebih
dahulu, maka akan menjadi beban APBD Daerah sewaktu didesentralisasikan,
terutama yang penerimaan DAU-nya kecil sementara jumlah siswa Madrasahnya
besar. Sebagian Madrasah beruntung memperoleh dari swadaya dengan
menyelenggarakan kegiatan yang menghasilkan. Sebagian Madrasah didukung oleh
donatur tetap, dan hampir semua Madrasah juga meperoleh keuntungan dari guru
honor yang bekerja dengan imbalan jauh di bawah upah dasar minimum.
9.
Pengeluaran yang besar.
Pengeluaran terbesar
anggaran Madrasah masih didominasi untuk gaji dan honorarium yang mecapai
antara 60 sampai 80%. Di Madrasah swasta yang pendapatannya kecil, proporsinya
ditekan sampai 50% agar untuk mendukung proses belajar mengajar lebih besar.
Namun demikian dalam rupiah masih sangat kecil, yaitu Rp. 5.000,- per siswa per
tahun, jumlah yang terlalu kecil untuk meningkatkan kualitas.
Sementara, tantagan
yang harus dihadapi oleh Madrasah di era globalisasi ini antara lain, pertama, perubahan
orientasi pendidikan masyarakat akibat tuntutan era industrialisasi di
tengah-tengah masyarakat. Kedua, munculnya tren baru pendidikan akibat
dari dampak lanjutan perubahan orientasi pendidikan masyarakat di atas, yakni
tren yang menjadikan pendidikan umum lebih diprioritaskan dibandingkan dengan
pendidikan agama. ketiga, kenyataan
bahwa, dewasa ini, kualitas layanan pendidikan yang diberikan oleh Madrasah
dinilai masih rendah daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah
umum, apalagi negeri[7].
C. Desentralisasi
Pendidikan dan Upaya Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah
Desentralisasi di
bidang pendidikan adalah pemindahan wewenang dalam pengaturan pelayanan dan
fungsi-fungsi pengaturan dari Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota, dan
sebagian pengelolaan diberikan ke sekolah dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah. Prinsip-prinsip desentralisasi seperti dinyatakan dalam UU No.22/1999
adalah demokrasi, partisipasi masyarakat persamaan, pemerataan, dan kemandirian
dalam hal-hal yang diserahkan, dengan memperhatikan keberagaman potensi Daerah
dan menjalin hubungan yang hamonis antara tingkat pusat dan daerah, dengan
meningkatkan peran perwakilan daerah dan menyediakan dukungan finansial.
Terdapat dua hal
pokok yang terdapat pada UU No. 22 dan 25 tahun 1990 tentang desentralisasi dan
Otonomi Daerah, yakni:
1.
Adanya perubahan piramida kewenangan Pemerintahan. Pasal 10, meletakkan otonomi
luas dan utuh pada Kabupaten/Kota. Pasal 9, otonomi provinsi merupakan otonomi
yang terbatas dan pasal 112 provinsi di amanatkan sebagai fasilitator dan
perekat.
2.
Pembanguna paradigma baru, diantaranya
a)
Demokratisasi penyelenggaraan
b)
Pemberdayaan aparat dan masyarakat (peningkatan partisipasi dan tanggung jawab)
c)
Peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat (pengembangan kewajiban dan hak
sipil)
Berangkat dari
beberapa hal tersebut diatas, maka beberapa langkah strategis perlu dilakukan
dalam upaya meningkatkan kuatlitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah,
langkah-langkah tersebut antara lain:
1.
Perbaikan Komponenen Input Madrasah Ibtidaiyah
Menelisik akar
persoalan diatas tidaklah mudah untuk merevitaliasi kondisi pendidikan
madrasah. Namun, keseriusan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
sangatlah diperlukan, karena besarnya Anggaran pendidikan tanpa diimbangi
dengan program pendidikan yang benar malah akan menimbulkan persoalan baru.
Melihat kondisi dan
realitas yang ada setidaknya tiga komponen input yang harus segera dibenahi.Pertama, pembenahan sarana
dan infrastruktur pendidikan. Hal ini amatlah wajar, ketika kita berbicara
persoalan pendidikan dengan mengenyampingkan sarana dan infrstruktur adalah
omong kosong. Bagaimana para siswa akan belajar jika lokalnya tidak ada,
hancur, mau roboh dan tidak layak digunakan, ataupun bagaimana para siswa akan
dapat memahami ilmu yang diberikan oleh guru dalam bidang biologi misalnya
ataupun kimia yang membutuhkan praktek, sementara sekolah tidak memiliki
laboratorium maupun sarana praktek yang lain, dan inilah kondisi yang terjadi
di madrasah-madrasah hari ini.
Kedua, konsistensi dan
keberlanjutan pembinaan guru. Sudah dikatakan diawal bahwa berbicara persoalan
madrasah apalagi dengan sekian wacana peningkatan madrasah bermutu tidaklah
mungkin mengenyampingkan sosok guru. Maka konsistensi pembinaan guru madrasah
merupakan sebuah keharusan sebagai upaya menciptakan guru yang profesional.
Profesionalitas seorang guru sangat vital untuk mensukseskan pendidikan yang
bermutu. Dengan pembinaan guru yang konsisten ini diharapkan akan tercapai
standarisasi pendidik yang dibutukan bagi guru-guru madrasah sehingga guru yang
profesional dapat terwujud. Adapun Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik sebagaimana yang dijelaskan dalam PP RI NO. 19 TAHUN 2005 Tentang Guru
Dan Dosen, dalam pasal 28 disebutkan.
a.
Kompetensi Pedagogik. Kompetensi adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisaskikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.
Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
beribawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c.
Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang memungkinkannya pembimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
d.
Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali, peserta didik, dan masyarakat
sekitar[8].
Seorang guru juga
harus menyadari bahwa, pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall,
bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang
diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati
serta dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didik (etos).
Ketiga, pelaksanaan
monitoring dan evaluasi dalam kerangka pengembangan madrasah sejalan dengan
peningkatan mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabiltas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, monitoring dan
evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga untuk semua jenjang, satuan,
dan jenis pendidikan, monitoring dan evaluasi juga dilakukan dalam kerangka
pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Monitoring dan
Evaluasi harus dilakukan secara konsisten untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik, dan perkembangan madrasah secara
berkesinambungan.
2.
Penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah dengan Berorientasi Perbaikan Mutu
dan Peningkatan Pelayanan Pendidikan.
Di tingkat satuan
pendidikan pada saat ini, pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah swasta sama dengan
Madrasah Ibtidaiyah negeri kecuali dalam akreditasi yang hanya dikenakan pada
Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Sedangkan dalam pengelolaan, 91% Madrasah
Ibtidaiyah adalah swasta sehingga lebih otonom dan diselenggarakan oleh
berbagai tipe yayasan yang bervariasi. Variasinya tidak hanya dalam aliran
Islam, tetapi juga dalam ukuran dan struktur yayasan.
Mulyasa, seperti
dikutip Abdul Rahman Saleh, menyatakan setidaknya terdapat tujuh komponen
yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yakni: (a) Kurikulum dan
Program pengajaran (b) Tenaga Kependidikan (c) Kesiswaan (d) Pembiayaan (e)
Sarana dan Prasarana Pendidikan (f) Pengelolaan Hubungan sekolah dengan masyarakat
(g) Manajemen Pelayanan khusus Lembaga pendidikan[9].
Madrasah Ibtidiyah,
sebagai institusi pendidikan, harus dikembangkan dan diarahkan pada mekanisme
organisasi dan penyelenggaraan yang profesional. Formulasi mekanisme organisasi
dan penyelenggaraan tersebut adalah: (a) penataan seluruh komponen
pendidikan menuju tercapainya tujuan institusional (b) orientasi
pengelolaan diarahkan kepada terciptanya hubungan timbal balik antara madrasah
Ibtidaiyah dan masyarakat. (c) fleksibilitas pengelolaan (d) melalui pendekatan
yang profesional (e) bersifat terbuka dan demokratis (f) kerja sama
denagan unsur dan unit kerja lain (g) mengembangkan konsep keterpaduan (h)
pengawasan dan kontrol pengelolaan yang independen (i) menyiapkan perangkat
hukum (j) Pembentukan dan perbaikanimage.[10]
3.
Prinsip pendanaan yang adil.
Demi prinsip keadilan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama seperti yang
diamanatkan UU Sisdiknas yang baru, studi ini mendukung rekomendasi Studi
Pengembangan Sektor Pendidikan yang mengusulkan dilakukan perubahan sistem
pendanaan pendidikan dengan berbasis rumusan kebutuhan per-siswa dengan
memperhatikan ketimpangan tersebut di atas. Agar Madrasah dapat mengejar
ketertinggalan dalam memperoleh dana pemerintah, tetap dapat mempertahankan dan
mengembangkan ciri khasnya, dan terdorong untuk selalu meningkatkan kualitas, maka
disarankan agar kebijakan pendanaan pemerintah dilakukan dalam bentuk hibah,
berorientasi kepada kinerja, diprioritasikan untuk memperbaiki disparitas,
didukung dengan pembentukan Dana Amal Abadi Pendidikan (endowment
fund).
Penyaluran dana
pemerintah diwujudkan dalam bentuk hibah (block grant) dimana Madrasah diberi
kewenangan untuk mengatur penganggarannya sendiri untuk semua komponen masukan
instrumental pendidikan, baik untuk kegiatan rutin maupun kegiatan
pengembangan, dan ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas pasal 49. Untuk
berorientasi kinerja, setiap Madrasah perlu menyiapkan Rencana Program
Peningkatan Kualitas beserta usulan anggarannya sebagai dasar untuk menetapkan
dana bantuan pemerintah. Prioritas diberikan kepada Madrasah di Daerah yang selama
ini kurang memperoleh dana pemerintah, di daerah terpencil, terisolasi, dan
daerah miskin, agar Madrasah yang bersangkutan dapat mengejar
ketertinggalannya.
footnote nya dimana itu ?
BalasHapusterimakasih sudah membantu
BalasHapus